Beranda | Artikel
Selebaran Fatwa Politik
Sabtu, 26 Juni 2004

SELEBARAN FATWA POLITIK

Oleh
Redaksi Majalah Al-Furqon

Telah beredar sebuah selebaran berjudul ‘Fatwa Politik” yang berisi fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Selebaran fatwa enam halaman itu diterjemahkan oleh Normal Sho’iman dari buku “Fatawa wa Kalimaat fi Hukmi Al-Musyarakah bi Al-Barlamanaat” karya DR Abdur Razzaq [1] bin Khalifah Asy-Syaayiji. Inti dan maksud selebaran tersebut adalah untuk mencuatkan opini bahwa kedua syaikh tersebut membolehkan masuk parlemen. Hal itu membuat banyak diantara saudara kami bertanya-tanya dan mengharapkan tanggapan kami mengenai selabaran tersebut.

Maka dengan memohon pertolongan kepada Allah, kami penuhi harapan mereka walau secara ringkas. Semoga menjadi jelas bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran.

PERTAMA : APAKAH ANDA MENGENAL PENULISNYA ?
1. DR Abdur Razzaq bin Khalifah Asy-Syayiji bukanlah penulis yang terpercaya. Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali berkata tentangnya pada hari senin 17 Dzul-Qo’dah 1421H di Surabaya : “Dahulu dia termasuk orang yang menisbatkan dirinya kepada manhaj salaf dan termasuk salah satu anggota dalam sebuah Jam’iyah Islmiyah. Namun tatkala kedok Abdur Rahman Abdul Khaliq terbongkar, maka mereka terpecah belah dan menamakan diri dengan ‘Salafiyah Ilmiah” lalu berhubungan dengan Muhammad Surur dan para hizbiyyin lainnya. Ringkasnya orang ini adalah politikus hizby sekalipun dia mengaku bermanhaj salaf”. Demikian pula dikatakan para masyaikh dakwah salafiyyah lainnya.

2. DR Abdul Razzaq satu pemikiran dengan syaikh Abdur Rahman Abdul Khaliq, murid dan sahabat karibnya sedangkan Abdur Rahman Abdul Khaliq sendiri adalah orang yang menyimpang karena terjun dalam kancah politik praktis sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, salah satunya adalah Syaikh Al-Alamah Abdul Aziz bin Baz sendiri dalam Majmu Fatawanya 8/140-246. Tapi adakah para hizbiyyun mengetahuinya ?!! Menerima apalagi menyebarkannya ?!! Sekali-kali tidak, mereka hanya menyebarkan fatwa ulama apabila mendukung hawa nafsu mereka sebagaimana kebiasaan ahli bid’ah. Sungguh benar Al-Imam Asy-Syaukani tatkala berucap dalam kitabnya “Adab Thalab” hal.43 : “Termasuk tradisi ahli bid’ah sepanjang masa bahwa mereka sangat gembira dengan munculnya fatwa dan ucapan seorang ulama (apabila mendukung hawa nafsu mereka-pent), mereka sangat bersemangat dalam menyebarkannya, mereka menjadikannya sebagai senjata untuk menguatkan kebid’ahan mereka dan menyerang orang yang mengingkari mereka dengan fatwa tersebut.

KEDUA : KESALAHAN PENERJEMAH
Penerjemah selabaran ini telah mengikuti hawa nafsunya dan menulis apa yang mendukung pendapatnya saja, jauh dari amanat ilmiah dan keadilan. Hal ini ditinjau dari dua segi :

1. Penerjemah hanya menukil fatwa ulama yang terkesan membolehkan masuk parlemen tanpa menukil fatwa ulama yang melarangnya secara tegas seperti Syaikh Al-Albani, padahal juga tercantum dalam kitab aslinya. Mengapa penerjemah tidak menukilnya ?!!

2. Kesimpulan isi selebaran tersebut berbeda dengan buku aslinya. Dalam buku aslinya hal. 139 : Syaikh DR Abdur Razzaq menyimpulkan pada akhir bahasan : “Hendaknya diketahui bahwa ini adalah masalah kontemporer dan insidental pada zaman sekarang …. Sekalipun mereka berselisih, tetap mendapat pahala karena ini adalah masalah ijtihadiyah, yang mana penilaian mashlahah dan mafsadahnya berbeda-beda menurut pandangan satu ulama dengan ulama lainnya…”

Sedangkan kesimpulan selebaran tersebut adalah boleh begitu saja, tanpa perselisihan pendapat sebagaimana difahami oleh setiap pembaca.

3. Penerjemah hanya memperhitam kalimat-kalimat yang mendukung pendapatnya saja tanpa memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan oleh kedua Syaikh tersebut. Semoga Allah merahmati Imam Waki’ bin Jarrah tatkala mengatakan.

“Artinya : Ahli ilmu menulis apa yang sesuai dengan mereka dan yang tidak sesuai, sedangkan pengekor hawa nafsu tidak menulis kecuali apa yang sesuai hawa nafsu mereka ! (Dikeluarkan Imam Daruquthni dalam Sunannya 1/26)

KETIGA : ISI FATWA
1. Apakah fatwa tersebut telah mendapatkan izin dari Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin untuk disebarluaskan ?!!

2. Sungguh lucu dan aneh sekali prilaku kaum hizbiyyun, mereka menyebarkan fatwa di atas. Tetapi pada kesempatan lain mereka menuding kedua syaikh tersebut sebagai ulama haid dan nifas, ulama pemerintah, ulama tidak tahu fiqhul waqi’ (pemahaman realita). Kalau memang mereka konsisten, maka mereka juga harus menerima fatwa Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin tentang haramnya partai, demonstrasi, bom bunuh diri, jihad, pemerintahan dan semisalnya. Demikian pula kritik Ibnu Baz terhadap harakah Ikhwanul Muslimun[2]. Apakah mereka menyetujuinya ataukah membuangnya ?!!

3. Para ulama menjawab sesuai pertanyaan.

4. Para ulama memberikan syarat-syarat yang ketat. Coba perhatikan perkataan Syaikh Abdul Aziz bin Baz : “Masuk kedalam Majlis perwakilan, parlemen dan lembaga legislatif lainnya adalah sangat berbahaya. Yang masuk kedalamnya dengan berlandaskan ilmu, untuk mengusung kebenaran dan menggiring manusia menuju kebenaran serta menghancurkan segala kebatilan, bukan karena rakus dunia, bukan pula untuk mencari kehidupan dunia semata … saya berpendapat tidak apa-apa”. Apakah syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi ?!! Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa orang yang masuk parlemen berubah menjadi rusak dan tidak dapat berkutik.

5. Siapakah orang yang paling faham tentang fatwa mereka ?!! Bukankah orang-orang yang dekat dengan keduanya dari kalangan sahabat dan murid-murid mereka ?!! Anehnya mereka mengingkari masuk parlemen ini. Ataukah orang-orang hizbiyyun lebih pandai daripada murid-muridnya ?!!

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi : 7 Th III/Shofar 1425 hal. 2 Penerbit Lajnah Dakwah Ma’ahd Al-Furqon Al-Islami, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon Srowo Gresik Jawa Timur]
_______
Footnote
[1]. Dalam selebaran aslinya tertulis DR. Abdul Raziq !!! Sungguh kesalahan yang amat lucu
[2]. Menurut beberapa informasi –Wallahu A’lam- penyebar selebaran ini adalah harokah Ikhwanul Muslimin di Jakarta


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/861-selebaran-fatwa-politik.html